Setiap pagi, jutaan orang di seluruh dunia memulai hari mereka dengan secangkir kopi Gayo. Mereka menghirup aromanya yang khas perpaduan wangi bunga, rempah, dan tanah basah lalu menyesap rasanya yang kompleks dan meninggalkan jejak manis di lidah. Kopi Gayo telah menjadi duta kebanggaan Indonesia di panggung dunia, sebuah nama yang identik dengan kualitas premium. Namun, di balik setiap tegukan kopi yang kita nikmati, tersimpan cerita-cerita inovasi dan dedikasi yang jarang sekali terungkap. Cerita ini bukan tentang barista di kafe-kafe kota besar, melainkan tentang para alkemis sejati di kebun-kebun tersembunyi di dataran tinggi Gayo.
Salah satunya adalah Aman Jarum, seorang petani kopi generasi ketiga yang saya temui di sebuah desa sunyi di Bener Meriah. Di saat banyak petani lain beralih ke metode pengolahan yang lebih modern dan cepat, Aman Jarum justru kembali ke cara-cara lama yang diajarkan kakeknya, sebuah metode yang ia yakini sebagai kunci untuk mengeluarkan “jiwa” asli dari biji kopi Gayo. Ia tidak menyebutnya organik atau premium; ia hanya menyebutnya “cara yang benar”.
Dapur rahasianya terletak pada proses fermentasi. Alih-alih menggunakan bak semen atau mesin, Aman Jarum melakukan fermentasi biji kopi di dalam lubang tanah yang dialasi daun pisang dan ditutup dengan karung goni basah selama tepat tiga malam. “Tanah Gayo ini hidup,” katanya sambil menepuk-nepuk gundukan tanah di hadapannya. “Dia memberi nafas pada kopi, meminjamkan aromanya. Ini bukan sekadar proses, ini adalah ritual.”
Metodenya tentu tidak mudah. Ia harus menjaga kelembapan karung goni dengan menyiramnya setiap beberapa jam, bahkan di tengah malam yang dingin. Ia sering dianggap aneh oleh tetangganya yang lebih memilih menjual ceri kopi langsung ke pengepul. “Buat apa susah-susah? Toh harganya sama saja,” begitu cibir mereka. Namun, bagi Aman Jarum, ini bukan soal harga. Ini adalah soal warisan. Ia bercerita tentang bagaimana kakeknya dulu bisa “membaca” cuaca hanya dari aroma biji kopi yang sedang dijemur. Sebuah kearifan yang, menurutnya, perlahan hilang ditelan zaman.
Hasilnya? Kopi dari kebun Aman Jarum memiliki profil rasa yang luar biasa unik. Ada sedikit aroma tanah basah setelah hujan dan jejak rasa manis seperti nangka matang yang tidak akan pernah Anda temukan di kopi Gayo hasil olahan pabrik. Ia tidak menjualnya ke eksportir besar. Ia hanya menjualnya dalam jumlah kecil ke beberapa warung kopi lokal yang pemiliknya masih menghargai cita rasa otentik. Kepuasan terbesarnya, katanya, adalah saat melihat mata seseorang berbinar setelah tegukan pertama, lalu bertanya, “Kopi apa ini? Kok beda?”
Kisah Aman Jarum adalah satu dari ribuan cerita inovasi senyap yang terjadi di seluruh pelosok Gayo. Mereka adalah para pahlawan tanpa tanda jasa, para alkemis yang bekerja dalam sunyi untuk menjaga reputasi secangkir kopi yang kita banggakan. Merekalah wajah Indonesia yang sesungguhnya, sebuah cerita membanggakan yang tak akan pernah kita temukan di layar kaca. Jadi, saat Anda menikmati secangkir kopi Gayo berikutnya, cobalah pejamkan mata sejenak. Mungkin saja, Anda bisa menghirup aroma tanah basah dari kebun kecil milik Aman Jarum.