Peuyeum Ketan Dari Suguhan Lebaran Hingga Simbol Adat
Peuyeum ketan atau tape ketan, barangkali terdengar sederhana hanya terbuat dari beras ketan yang difermentasi dengan ragi hingga menghasilkan rasa manis legit. Namun dibalik kesederhanaannya, kuliner tradisional ini menyimpan cerita panjang yang membuatnya istimewa. Saat Lebaran tiba, peuyeum ketan kerap hadir di meja tamu sebagai suguhan khas, mendampingi obrolan hangat keluarga dan kerabat. Bagi sebagian perantau, membawanya pulang sebagai buah tangan juga menjadi cara melepas rindu pada kampung halaman.
Meski sama-sama hasil fermentasi ketan, penyebutan tape ketan dan peuyeum ketan berbeda di tiap daerah. Di Jawa Barat, masyarakat lebih mengenal istilah peuyeum ketan, sedangkan di Bali, kuliner ini lebih akrab disebut tape ketan. Perbedaan ini sekadar soal nama, namun tradisi yang menyertai di setiap daerah memberikan nuansa dan cerita yang khas.
Di Bali, misalnya, tape ketan hitam menjadi pelengkap penting dalam perayaan Galungan dan Kuningan. Hidangan ini dijadikan sesajen, melambangkan rasa syukur serta penghormatan kepada leluhur. Sementara di Jawa Barat, khususnya daerah Kuningan, peuyeum ketan yang dibungkus daun jambu air dianggap sebagai simbol kebersamaan.
Dari sini kita bisa melihat bahwa peuyeum ketan bukan sekadar camilan. Ia hadir dalam banyak wajah sebagai suguhan Lebaran, buah tangan khas daerah, pelengkap upacara adat, hingga simbol spiritual. Bungkus daun yang sederhana menyimpan makna besar tentang bagaimana makanan bisa merekatkan hubungan sosial, menjaga tradisi, sekaligus memberi identitas pada sebuah daerah.
Menariknya, dalam masyarakat Kuningan, peuyeum ketan sering difermentasi di dalam ember hitam kedap udara lalu dibungkus daun jambu air. Bungkus ini bukan hanya menjaga kualitas, tetapi juga memberi aroma segar yang khas. Tradisi unik ini membuat peuyeum ketan berbeda dengan tape ketan dari daerah lain. Bahkan, dulu kudapan ini hanya hadir pada momen-momen penting seperti Lebaran atau hajatan besar. Kini, peuyeum ketan bisa ditemukan lebih mudah, namun tetap membawa nuansa nostalgia karena rasanya mengingatkan orang pada suasana rumah dan kebersamaan keluarga.
Mencicipi peuyeum ketan pun bukan sekadar soal rasa manis dan legitnya. Lebih dari itu, ia adalah jendela untuk memahami tradisi, kebersamaan, dan nilai-nilai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Peuyeum ketan menunjukkan bahwa kuliner tradisional bisa bertahan dan tetap relevan, karena ia tidak hanya hadir sebagai makanan, tetapi juga sebagai pengikat kenangan, identitas, dan makna dalam kehidupan masyarakat.