Kalau berkunjung ke Kabupaten Tuban, Jawa Timur, jangan cuma berhenti mencicipi sea food. Ada satu camilan unik yang sejak dulu jadi bagian dari kehidupan masyarakat, namanya ampo.
Sekilas bentuknya mirip wafer roll. Berupa gulungan cokelat kecil berwarna hitam kecoklatan. Tapi jangan salah, bahan dasarnya bukan tepung atau gula, melainkan tanah liat murni.
Ampo bukan berbahan dari tanah sembarangan. Tanah yang dipilih harus benar-benar bersih, halus, bebas dari pasir maupun batu. Proses pembuatannya pun masih sangat tradisional: tanah dihaluskan, dipadatkan, digulung, lalu dipanggang di atas tungku tanpa campuran apa pun.
Hasilnya, lahirlah stik renyah yang konon punya sensasi rasa mirip kacang, dan paling nikmat disantap bersama secangkir kopi atau teh.
Mbah Rasimah, beserta keluarga, saat ini menjadi satu-satunya pelestari makanan tradisional yang masih bertahan di Tuban. Dia membuat ampo di belakang tempat tinggalnya, di Desa Bektiharjo, Kecamatan Semanding, Tuban, Jawa Timur.
Nenek 69 tahun ini menjelaskan bahwa tradisi memakan ampo sudah ada sejak masa penjajahan.
Kala itu, sumber makanan sulit didapat, dan masyarakat Tuban memanfaatkan endapan tanah aluvial dari tepi Bengawan Solo sebagai pengganti pangan.
Dari situlah ampo kian dikenal. Bahkan hingga kini, makanan berbahan tanah liat itu masih dipertahankan di beberapa daerah, salah satunya di Desa Bektiharjo, Kecamatan Semanding.
Dulu saat zaman penjajahan hingga orde baru, ampo banyak diproduksi dan dijual warga Desa Bektiharjo. Selain biaya produksi yang murah, tekstur tanah di Tuban yang berair dirasa cocok untuk dibuat camilan.
Namun kini Rasimah dan keluarga menjadi satu-satunya pemilik rumah produksi yang masih setia menjaga warisan ini.
Di usianya yang sudah sepuh, dia tetap rutin membuat ampo setiap hari. Bayangkan, hingga 10 kilogram ampo bisa dihasilkan dari tangannya yang telaten dalam sehari.
Alasan Rasimah masih mempertahankan produksi ampo bukan semata-mata untuk memperkaya diri. Namun, ampo memiliki jasa besar pada hidupnya. Dari jualan camilan tanah tersebut, dia bisa membesarkan anak-anaknya yang kini sudah berkeluarga.
Bagi Rasimah, ampo bukan sekadar komoditas jualan. Tapi, memiliki jasa besar untuk menemani hidupnya hingga berusia lebih dari setengah abad.
Harganya pun sangat terjangkau, hanya Rp 10 ribu per kilogram, dan bisa ditemui langsung di rumah beliau atau di Pasar Baru Tuban.
“Kalau dimakan bareng kopi itu rasanya khas sekali, bikin inget zaman dulu,” ujar Rasimah. Baginya, ampo bukan sekadar camilan, tapi juga bagian dari identitas orang Tuban.
Selain sebagai makanan ringan, ampo juga dipercaya punya khasiat. Warga lokal menyebut ampo bisa membantu menenangkan perut, mengurangi rasa gatal, bahkan digunakan sebagai obat tradisional.
Dalam beberapa upacara adat, seperti sedekah bumi atau selametan panen, ampo juga sering dihadirkan sebagai pelengkap sesaji.
Meski sempat populer dan mencari ciri khas Tuban, para ahli kesehatan mengingatkan adanya risiko jika tanah liat terkontaminasi kotoran atau telur parasit.
Itulah mengapa kebiasaan ini kini makin jarang ditemui, terutama di luar daerah yang memiliki tradisi kuat seperti Tuban dan Cirebon.
Namun, di balik pro-kontra itu, keberadaan ampo tetap istimewa. Ampo bukan hanya camilan sederhana, tapi simbol daya tahan budaya masyarakat. Di tengah gempuran makanan modern, ampo menjadi pengingat bahwa dari tanah, manusia bisa menemukan kekuatan, bahkan rasa.
Jadi, kapan kamu akan mencoba ampo sambil menyeruput kopi panas di pagi hari?