Di tanah Tapanuli Utara, di sekitar Danau Toba yang tenang, hutan bukanlah sekadar hamparan pepohonan. Bagi orang Batak Toba, hutan adalah ruang sakral, tempat roh leluhur bersemayam, dan tempat kekuatan gaib menjaga keseimbangan semesta. Dari antara pepohonan yang menjulang, ada satu pohon yang dipandang paling agung: Hariara.
Hariara bukanlah pohon biasa. Ia adalah pohon raksasa dengan batang kokoh dan akar yang menghunjam dalam ke perut bumi. Daunnya rimbun, menaungi tanah yang subur. Masyarakat percaya, di dalam tubuhnya bersemayam roh leluhur yang menjaga manusia dari marabahaya. Hariara adalah lambang keseimbangan—antara manusia dengan alam, antara dunia yang terlihat dengan dunia yang gaib.
Legenda menuturkan bahwa pada awal mula, ketika leluhur Batak pertama turun dari Banua Ginjang—dunia atas tempat para dewa bersemayam—ia membawa sebuah tongkat sakti. Ketika ia menginjakkan kaki di bumi, tongkat itu ditancapkannya ke tanah. Dalam sekejap, tongkat tersebut menjelma menjadi pohon raksasa: Hariara. Dari pohon inilah kesuburan bumi memancar, dan dari pohon inilah manusia Batak belajar tentang arti kehidupan yang seimbang.
Sejak saat itu, Hariara dipuja dan dihormati. Siapa pun yang ingin menebangnya wajib meminta izin melalui upacara adat, sebab roh yang bersemayam di dalamnya bisa membawa berkah sekaligus malapetaka.
Orang tua dulu menuturkan sebuah kisah. Alkisah, seorang lelaki pendatang datang ke tanah Batak. Ia ingin membuka lahan untuk bertani. Dengan semangat serakah, ia mulai menebang pepohonan, hingga kapaknya menghantam batang Hariara. Pohon itu roboh, dan ia merasa puas karena lahan terbuka lebar.
Namun, malam itu, lelaki itu bermimpi. Dalam mimpinya, seorang roh tua berwajah murka muncul dari kegelapan. Matanya menyala bagai api, suaranya berat dan mengguncang:
“Kau telah melukai tubuhku. Maka tubuhmu pun akan kulukai.”
Keesokan harinya, lelaki itu jatuh sakit. Tubuhnya melemah tanpa sebab, panasnya tak kunjung turun, dan tak lama kemudian, ia meninggal dengan wajah pucat penuh ketakutan. Sejak saat itu, masyarakat Batak Toba percaya: siapa pun yang berani menebang Hariara tanpa izin adat, akan menerima kutukan.
Maka, Hariara bukan hanya pohon. Ia adalah penjaga hutan, pelindung manusia, dan pengingat bahwa keserakahan hanya membawa kehancuran. Hingga kini, cerita tentang Hariara terus diwariskan dari mulut ke mulut, menjadi legenda yang menegaskan kearifan leluhur Batak Toba: alam harus dihormati, sebab di dalamnya hidup roh yang menjaga keseimbangan dunia.