Siapa sangka, bagian buah yang biasanya dibuang justru menjadi rahasia lezat di dapur Banjar. Mendengar kata Banjar dengan makanan khas unik mereka, pikiran kita mungkin langsung terbang ke soto Banjar yang harum rempah atau wadai khas pasar terapung.
Namun, jauh dari keramaian dan dibalik kuliner-kuliner yang terkenal itu, ada hidangan unik tersembunyi yang tak kalah istimewa. Mandai, hasil fermentasi kulit cempedak, dijaga dengan penuh kebanggaan oleh masyarakat Banjar di Hulu Sungai Selatan.
Mereka mewarisi cara unik mengawetkan kulit cempedak dengan garam. Proses sederhana yang justru menjadi simbol kecerdikan dan kearifan lokal. Kebiasaan ini tak hanya menyelamatkan bahan pangan dari pemborosan, tetapi juga melahirkan cita rasa khas yang tak bisa ditemukan di tempat lain. Mandai menjadi bukti bahwa kreativitas hidangan bisa lahir dari keterbatasan sekaligus mencerminkan kedekatan masyarakat Banjar dengan alam sekitarnya.
Asal Usul Mandai, Dari Dapur ke Warisan Rasa
Mandai lahir dari kebutuhan yang sederhana, mulai dari buah cempedak yang dikenal dengan tiwadak oleh masyarakat Banjar, bagaimana menyimpan kulit cempedak agar tidak terbuang ketika musim panen tiba. Alih-alih dibuang, masyarakat Banjar di Hulu Sungai Selatan memanfaatkan kulitnya yang tebal dan berserat dimasukkan ke dalam tempayan atau toples yang berisi larutan garam. Dibiarkan sampai beberapa minggu, perlahan akan berfermentasi, hingga berubah teksturnya menjadi kenyal dan menghadirkan rasa asin yang khas.
Fermentasi Sederhana, Filosofi di Balik Mandai
Di balik rasa gurihnya, ada cerita tentang kesederhanaan dan kecerdikan masyarakat Banjar dalam menghadapi musim panen yang berlimpah. Fermentasi mandai dilakukan dengan sangat sederhana, kulit cempedak disimpan dalam kondisi tertutup, tanpa udara, sehingga berubah perlahan menjadi kenyal dan beraroma khas. Proses ini dimulai dengan memilih buah cempedak yang sudah matang lalu mengupas bagian luar kulitnya hingga tersisa lapisan dalam berwarna kekuningan. Lapisan inilah yang menjadi bahan utama mandai. Kulit cempedak kemudian dipotong-potong sesuai ukuran yang diinginkan dan direndam dalam larutan garam di dalam tempayan atau toples. Garam menjadi simbol kebersahajaan sekaligus ketahanan, karena hanya dengan bahan sederhana itu, pangan bisa disimpan berbulan-bulan tanpa rusak. Wadahnya harus tertutup rapat agar proses fermentasi berjalan tanpa udara semakin lama disimpan, bahkan hingga berbulan-bulan, rasa dan aromanya akan semakin kuat. Lebih dari sekadar makanan, mandai mengajarkan nilai hemat, kesabaran, dan menghargai alam. Setiap gigitan adalah pengingat bahwa tidak ada yang sia-sia jika diolah dengan bijak.
Bukan Sekadar Asin, Cita Rasa Luar Biasa
Mandai bukan sekadar kulit cempedak asin yang diawetkan. Ketika buah datang serentak dan berpotensi terbuang, mereka menemukan cara agar setiap bagian tetap bermanfaat. Setelah melalui waktu perendaman, mandai pun siap diolah menjadi hidangan lezat. Sebelum dimasak, mandai biasanya dicuci terlebih dahulu untuk mengurangi kadar garamnya. Potongan mandai dapat digoreng hingga renyah, ditumis bersama sayuran, atau dimasak sambal pedas gurih yang membangkitkan selera makan. Dari langkah-langkah sederhana ini, tercipta bahan makanan khas yang tidak hanya awet, tetapi juga membawa cita rasa unik yang membedakannya dari hidangan lain.
Warisan Rasa yang Perlu Dijaga
Salah satu aspek menarik dari mantai adalah bagaimana kulit buah yang biasanya dibuang begitu saja dapat diolah menjadi hidangan yang lezat dan bergizi. Siapa sangka, makanan tradisional ini diam-diam menyimpan manfaat yang jarang diketahui banyak orang. Fermentasinya sederhana dengan garam tidak hanya memberi rasa gurih khas. Mandai kaya akan vitamin A dan C yang baik untuk kesehatan mata dan daya tahan tubuh, serta mengandung karbohidrat, protein, lemak, kalsium, dan fosfor. Mandai adalah warisan rasa sekaligus warisan cara pandang hidup masyarakat Banjar dengan memanfaatkan yang ada, menjaga keseimbangan, dan menemukan kelezatan dalam kesederhanaan.
Di tengah derasnya arus makanan cepat saji, mandai hadir sebagai pengingat bahwa resep-resep lama punya nilai lebih dari sekadar rasa. Setiap gigitan tidak hanya membawa kelezatan, tetapi juga cerita tentang cara hidup masyarakat Banjar yang kreatif dan hemat, memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka tanpa terbuang percuma. Mandai menjadi sebuah rasa yang lahir dari dapur sederhana di Hulu Sungai Selatan, namun tetap relevan dan membanggakan hingga hari ini.