Indonesia sudah dikenal luas di seluruh dunia memiliki banyak keragaman suku bangsa dan budaya. Berbagai keunikan dari suku bangsa dan budaya itu menjadi lambang pemersatu di setiap daerah dan sejatinya harus selalu dilestarikan dari generasi ke generasi. Sebagai salah satu warga Indonesia, khususnya yang berasal dari Suku Batak, ingin sekali rasanya memperkenalkan sebuah tradisi bernama Martumba yang mungkin di masa kini terasa tidak familiar di telinga.
Dalam tradisi Batak, bernyanyi dan menari adalah sebuah kegiatan yang lazim dilakukan dalam berbagai perayaan baik suka cita maupun duka cita. Tarian dari suku Batak, umumnya dikenal dengan istilah Tor-Tor dan kegiatan menarinya disebut dengan manortor. Tetapi, secara khusus sebenarnya dalam budaya Batak sendiri, Tor-Tor ada ragam jenis dan ciri khasnya.
Namun tanpa mengesampingkan esensi dari Tor-Tor itu sendiri, masyarakat Indonesia secara luas belum mengenal sebuah tarian lain dari tradisi Batak yang disebut Martumba.
Ya, martumba adalah sebuah tarian suka cita yang dibawakan oleh anak-anak muda suku Batak pada perayaan hasil panen atau hari penuh kegembiraan lainnya. Martumba, konon disebut demikian karena merupakan tiruan bunyi dari alu atau alat penumbuk padi yang terbuat dari kayu atau bambu.
Sesuai dengan tujuan dan asal muasal namanya, tarian Martumba lebih banyak menekankan pada hentakan kaki dan tepuk tangan. Bergerak dalam tempo yang cepat namun teratur, semua muda-mudi yang menari Martumba harus tampil ceria dan memakai pakaian atau ulos berwarna cerah. Ulos yang digunakan dalam tarian juga bisa dijadikan properti tari dengan tetap menjaga nilai dari ulos itu sendiri.
Keunikan lain dari Martumba ini adalah karena tarian ini memadukan unsur permainan tradisional seperti Ular Naga, Hompimpa, dan lain-lain. Walaupun bersuka cita dan dilakukan muda-mudi, tetapi Martumba tetap memperhatikan dasar-dasar Tor-Tor yang menjunjung tinggi etika seperti gerakan somba, marembas, mangurdot, dan manerser yang dilakukan dengan penuh kesantunan dan kesopanan.
Belakangan ini, Martumba sedang kembali populer. Berawal dari banyaknya komunitas orang-orang Batak atau jemaat gereja yang menghidupkan kembali tradisi ini melalui perlombaan dan atau sekadar tampil dalam berbagai acara. Walaupun ditujukan untuk anak-anak muda, kembali populernya Martumba tidak terlepas dari bantuan orang-orang tua suku Batak yang mulai memperkenalkan kembali tarian ini di masa sekarang.
Salah seorang generasi muda Batak yang juga seorang penari, Impolana Naibaho, pernah menggelar lokakarya tari Martumba di sanggarnya di daerah Bekasi. Dalam lokakarya itu, perempuan yang akrab disapa Pola tersebut menjelaskan asal mula Martumba berasal dari sebuah desa atau kecamatan bernama Pahae Jae.
Pencetus Martumba membuat tarian itu sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang melimpah, di mana ungkapan syukur tersebut dirayakan tidak hanya oleh orang-orang tua, tetapi juga oleh anak muda yang kelak akan turut mewariskan segala berkat dan kearifan lokal masyarakat Batak.