Ketika mendengar istilah “battle royale”, sebagian besar anak muda akan langsung teringat pada permainan daring populer seperti PUBG, Free Fire, atau Fortnite. Permainan itu identik dengan pertarungan sengit, saling serang, dan hanya menyisakan satu pemenang. Akan tetapi, di Lombok, Nusa Tenggara Barat, terdapat sebuah tradisi unik yang menyerupai “battle royale”, tetapi berbeda secara total. Tradisi ini tidak menimbulkan dendam, tidak menyisakan kekalahan, justru menumbuhkan rasa persaudaraan. Tradisi tersebut dikenal dengan nama Perang Topat.
Perang Topat merupakan ritual tahunan yang berlangsung di Pura Lingsar, tempat suci yang unik karena digunakan bersama umat Hindu dan Islam Wetu Telu. Keunikan ini menjadi simbol nyata bahwa perbedaan agama tidak selalu menimbulkan sekat, melainkan bisa membentuk ruang kebersamaan. Tradisi ini lahir dari budaya agraris masyarakat Lombok yang menjadikan alam sebagai penopang kehidupan. Doa, sesaji, dan lempar ketupat menjadi sarana ungkapan syukur atas hasil bumi, kesuburan tanah, dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam setiap lemparan ketupat tersimpan pesan toleransi, kesabaran, dan rasa syukur yang diwariskan secara turun-temurun. Anak-anak hingga orang tua, pemuka agama hingga rakyat biasa, ikut serta tanpa memandang status sosial. Inilah wujud nyata kebersamaan yang membanggakan. Acara diawali dengan doa bersama. Pemuka Hindu dan Islam duduk berdampingan, memimpin umat masing-masing dalam suasana khidmat. Momen ini menegaskan bahwa toleransi tidak hanya sekadar slogan, tetapi praktik nyata yang bisa dijadikan teladan. Setelah doa, masyarakat mengarak sesaji berupa hasil bumi, bunga, dan ketupat dengan iringan gamelan dan tabuhan gendang. Arak-arakan ini menjadi tontonan yang memikat, penuh warna, dan menegaskan identitas budaya Lombok.
Puncak acara adalah lempar ketupat. Ratusan orang saling melempar ketupat dengan riuh tawa, tanpa amarah atau dendam. Semua orang ikut bersuka cita, dan menariknya, ketupat yang berserakan tidak dibuang. Ketupat dikumpulkan dan ditanam di sawah atau kebun sebagai simbol kesuburan. Dari sebuah “perang” lahirlah kehidupan. Dari simbol konflik tumbuh harapan akan masa depan yang lebih baik. Perang Topat juga menjadi media pendidikan sosial. Anak-anak belajar tentang kebersamaan dan saling menghargai dalam kegiatan yang tampak sederhana namun sarat makna. Orang dewasa pun diingatkan bahwa konflik bisa diselesaikan tanpa kekerasan, dan bahwa perbedaan bukan untuk diperselisihkan, melainkan dirayakan.
Perang Topat mengandung beberapa pesan moral penting. Pertama, toleransi antaragama: umat Hindu dan Islam duduk bersama dan memimpin doa, menunjukkan harmoni nyata di tengah keragaman. Kedua, syukur kepada alam: tradisi ini menegaskan hubungan manusia dengan lingkungan, pentingnya menjaga kesuburan tanah, dan memelihara keseimbangan ekologis. Ketiga, kebersamaan sosial: ritual ini melibatkan semua lapisan masyarakat, tanpa memandang usia, status, atau latar belakang. Keempat, konflik yang melahirkan harmoni: perang simbolis ini mengajarkan bahwa perbedaan dan pertentangan bisa menjadi media mempererat persaudaraan.
Pesan-pesan ini relevan bagi generasi muda yang hidup di era digital, di mana interaksi sosial sering terfragmentasi. Meski sarat makna, Perang Topat jarang terekspos di media arus utama. Televisi dan media massa lebih sering menyoroti peristiwa sensasional, sementara tradisi lokal yang membanggakan seperti ini luput dari perhatian. Akibatnya, generasi muda lebih mengenal “battle royale” digital dibandingkan battle royale sosial yang penuh makna. Hal ini membuat tradisi kaya nilai sosial dan budaya semakin kurang dikenal oleh generasi penerus. Selain itu, kurangnya promosi kreatif membuat Perang Topat kalah pamor dibandingkan festival budaya populer lainnya. Padahal, jika dikemas dengan bahasa visual dan digital yang menarik, tradisi ini berpotensi menjadi tontonan global sekaligus sarana edukasi budaya.
Di era media sosial, Perang Topat bisa diperkenalkan melalui vlog, film pendek, atau reels Instagram. Visual warna-warni, musik tradisional, dan momen lempar ketupat yang riuh dapat dikemas dengan narasi menarik untuk generasi muda. Dengan demikian, Perang Topat tidak hanya menjadi tontonan lokal, tetapi juga simbol kebanggaan nasional yang mendunia. Tradisi ini menunjukkan bahwa “perang” tidak selalu identik dengan permusuhan; ia bisa menjadi jalan menuju persaudaraan dan kehidupan. Anak-anak belajar nilai toleransi, orang dewasa diingatkan tentang pentingnya kerukunan, dan seluruh masyarakat merasakan kebahagiaan bersama.
Perang Topat adalah bukti bahwa Indonesia menyimpan banyak kisah kebersamaan yang membanggakan, meski jarang terlihat di layar kaca. Tradisi ini mengajarkan bahwa perbedaan bisa dirayakan, konflik bisa diselesaikan tanpa kekerasan, dan perang bisa menjadi media persaudaraan. Di tengah dunia yang kerap dipenuhi konflik, Perang Topat hadir sebagai inspirasi: “battle royale” yang melahirkan persaudaraan, kehidupan, dan harapan. Inilah cerita membanggakan dari Lombok, warisan budaya yang layak dikenal lebih luas sebagai bagian dari wajah indah Indonesia.