Bayangkan sebuah naskah kuno yang berusia ratusan tahun. Halamannya memang sudah menguning, tapi tetap kuat, tidak mudah robek, dan masih bisa terbaca hingga hari ini. Naskah itu bukan ditulis di atas kertas Eropa atau Cina, melainkan di atas kertas daluang, produk asli Nusantara yang kini hampir punah.
Jejak di Masa Lalu
Daluang lahir dari pohon Broussonetia papyrifera vent, atau yang di Jawa lebih akrab disebut pohon glugu. Kulit pohon ini dikuliti, dipukul-pukul dengan sabar hingga seratnya menyatu, lalu dijemur di bawah matahari. Dari proses panjang dan penuh ketelatenan itu, lahirlah lembaran kertas daluang yang unik dan tahan lama.
Pada masa pra-Islam, daluang adalah media tulis utama masyarakat Nusantara. Di atasnya, pujangga menulis karya sastra, ulama mencatat kitab, dan sejarahwan mendokumentasikan peristiwa. Namun daluang bukan sekadar kertas—ia juga hadir dalam kehidupan spiritual. Para pertapa menjadikannya pakaian, dan dalam beberapa upacara keagamaan, daluang hadir sebagai bagian dari perlengkapan sakral.
Dari Kemegahan ke Keterlupaan
Sejarah mencatat, daluang pernah menjadi primadona. Jejaknya bisa kita lihat di koleksi Wayang Beber di Gunungkiduldan naskah-naskah kuno di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Semua itu adalah saksi bisu betapa daluang pernah begitu berharga bagi masyarakat kita.
Namun, peradaban terus berubah. Ketika kertas impor dari Eropa mulai membanjiri pasar pada abad ke-19, daluang perlahan tersisih. Proses pembuatannya yang rumit dan memakan waktu membuatnya kalah bersaing dengan kertas pabrikan yang lebih praktis dan murah. Sejak saat itu, daluang hanya menjadi cerita lama, tersisa di lembar-lembar tua dan koleksi museum.
Keistimewaan yang Tak Lekang Waktu
Meski tergeser, daluang menyimpan keistimewaan yang tak bisa diabaikan. Ketahanannya menjadi bukti nyata. Bayangkan, ratusan tahun berlalu, tetapi naskah daluang masih utuh, masih bisa kita baca. Seratnya yang padat dan kuat membuatnya mampu melawan waktu.
Tak hanya itu, daluang juga sarat filosofi. Proses pembuatannya mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan penghargaan terhadap alam. Lembar demi lembar daluang lahir dari tangan-tangan yang tidak sekadar bekerja, tetapi juga merawat nilai budaya.
Hidup Kembali di Masa Kini
Meskipun tak lagi digunakan secara luas, daluang belum benar-benar mati. Di Yogyakarta dan beberapa daerah lain, komunitas budaya dan perajin berusaha menghidupkannya kembali. Ada seniman yang melukis di atas daluang, karena teksturnya memberi dimensi berbeda pada karya mereka. Ada pula kaligrafer dan penulis aksara Jawa yang dengan bangga menggunakan daluang sebagai media, menjaga agar tradisi ini tetap bernapas.
Di tangan para pelestari, daluang bukan hanya kertas kuno, melainkan identitas budaya. Ia menjadi pengingat bahwa Nusantara pernah memiliki teknologi kertas sendiri—produk lokal yang lahir dari kearifan tradisional.
Selembar Kertas, Sejuta Cerita
Daluang mengajarkan kita bahwa benda sederhana seperti kertas bisa menyimpan sejarah panjang sebuah bangsa. Dari lembaran-lembaran daluang, kita bisa membaca bukan hanya teks, tapi juga cerita tentang kesabaran, kreativitas, dan kearifan lokal.
Kini, ketika dunia semakin modern, daluang hadir sebagai pengingat: bahwa melestarikan warisan budaya sama pentingnya dengan menciptakan hal baru. Karena tanpa akar, kita hanyalah pohon rapuh yang mudah tumbang.
✨ Selembar daluang bukan sekadar kertas, tapi jembatan yang menghubungkan kita dengan masa lalu, sekaligus penanda bahwa identitas bangsa hidup di setiap seratnya.