Setiap orang yang dilahirkan bukan dari etnis Gayo tapi besar di Tanoh Gayo pasti memiliki kenangan tentang dialek bahasa Gayo. Saya adalah salah satu dari banyaknya anak Aceh yang besar di Tanoh Gayo, tepatnya di kabupaten Aceh Tengah.
Sebuah daerah yang memiliki kekayaan budaya, keragaman bahasa, dan keindahan alam wisatanya. Katanya, Aceh Tengah adalah serpihan tanah surga yang jatuh di Aceh. Sata tinggal di Aceh Tengah, saya menganggap ungkapan ini terlalu lebay, tapi kalimat itu menjadi terasa nyata setelah 20 tahun merantau meninggalkan daerah Gayo.
Bukan saja alam dan budayanya yang saya rindukan, tapi juga dialek bahasa Gayo yang bercampur dalam bahasa nasional. Bahasa Indonesia yang teratur, penyisipan kosa kata Gayo dalam tiap kalimat, serta analogi yang muncul di setiap percakapan. Indah dan berbeda.
Dua puluh tahun setelah perantauan melintasi pulau dan negara, saya kembali ke tanah Gayo untuk merasakan irama lokal yang tak ada duanya di Indonesia itu. Hambar. Saya tidak lagi menemukan keindahan itu pada anak-anak sekarang. Anak-anak di Tanoh Gayo mulai bertutur dengan bahasa Indonesia ala Jakarta. Sesekali bercampur bahasa medsos. Hambar.
Bagi sebagian orang, dialek bahasa daerah merupakan bagian yang memalukan karena terdengar kampungan. Terlepas dari anggapan negatif yang disebarkan tanpa permisi, dialek bahasa Gayo adalah identitas ke-Acehan yang berbeda di kancah nasional maupun internasional. Sesama rakyat Gayo atau Aceh di perantauan dapat mengenali identitas daerah dari dialek yang digunakan oleh penutur di rantau.
Dialek lokal kedaerahan bukan aib yang perlu dihilangkan, tapi warisan identitas daerah yang perlu dijaga. Meskipun dialek bahasa Gayo tidak digunakan di ruang publik, tetapi tidak ada salahnya dalam percakapan sehari-hari tidak malu menggunakan dialek lokal tersebut. Dialek menjadi identitas daerah dalam penggunaan bahasa nasional.
Seperti halnya bangsa-bangsa yang mulai populer seperti Thailand, Korea Selatan, China, Amerika, dan beberapa negara lainnya. Meskipun menggunakan bahasa nasional sebagai alat komunikasi pemersatu dalam kehidupan sosial, dialek bahasa ibu masih terasa sebagai identitas yang dibawa tanpa harus menunjukkan catatan di dalam kartu identitas.
Dialek bahasa Gayo kini berada di persimpangan. Penutur muda mulai mencoba menghilangkan tanpa mengerti untuk apa mempertahankan. Menghilangkan dialek sama dengan menghilangkan identitas. Apakah kita rela kehilangan identitas saat bangsa-bangsa besar berlomba menanamkan identitas mereka dengan mengimpor bahasa mereka dalam bahasa tutur kita?