Harmoni dalam Tradisi Rasulan di Tanah Gunungkidul

Di desa-desa salah satu kabupaten Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat suatu tradisi dimana masyarakatnya menggelar perayaan untuk mengucap syukur atas hasil panen yang berlimpah. Bukan sekedar perayaan semata, tapi tradisi turun-temurun ini merupakan momen sakral yang menyimpan nilai-nilai luhur. Tradisi ini dikenal sebagai “Rasulan”, sebuah tradisi perayaan pasca panen di daerah Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mengenal Rasulan, Wujud syukur masyarakat Gunungkidul

Rasulan merupakan tradisi yang diwariskan turun-temurun dari leluhur dan telah dilaksanakan sejak zaman pra-Islam oleh masyarakat Gunungkidul. Kemudian, tradisi Rasulan mengalami akulturasi budaya dengan agama Islam, seperti memanjatkan doa dan mengucapkan puji syukur kepada Sang Pencipta. Tradisi ini bukan hanya sebagai perayaan atau ritual, tetapi juga merefleksikan hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Hingga saat ini, Rasulan masih menjadi tradisi yang mengakar di masyarakat Gunungkidul. Seluruh lapisan masyarakat; orang dewasa, pemuda-pemudi, hingga anak-anak, sangat antusias menyambut acara tersebut.

Tradisi Rasulan diselenggarakan sebagai bentuk ucapan syukur kepada Sang Pencipta atas hasil panen yang berlimpah sekaligus untuk bersih desa atau merti desa, yakni kegiatan membersihkan desa dengan harapan seluruh masyarakat desa dapat memperoleh keselamatan dan dilindungi dari marabahaya. Bagi masyarakat Gunungkidul, kegiatan bersih desa dalam acara Rasulan bukan hanya sekadar kegiatan bersih-bersih biasa, tetapi mencerminkan hubungan manusia yang menyatu dengan alam. Kegiatan ini juga memiliki makna sebagai bentuk menghargai alam yang telah menghidupi manusia.

Menelusuri jejak prosesi Rasulan 

Rangkaian tradisi Rasulan di desa-desa Gunungkidul cenderung tidak jauh berbeda. Tradisi ini biasanya dilaksanakan selama beberapa hari di bulan Juni hingga Juli pada musim kemarau. Rasulan dimulai dengan kegiatan bersih desa atau merti desa. Dalam kegiatan ini, masyarakat akan bergotong royong melakukan kerja bakti untuk membersihkan, merapikan, dan menghias tempat-tempat di desa. Diadakan pula pengajian maupun tausiah di balai desa sebagai bentuk refleksi spiritual masyarakat. Setelah itu, masyarakat akan melaksanakan kenduri atau berkumpul untuk makan bersama, berdoa, sekaligus untuk mempererat hubungan antar warga. Masyarakat juga akan menyiapkan sesaji yang akan ditaruh di sejumlah titik, seperti tempat-tempat keramat dan batas desa. Dipercayai bahwa sesaji menjadi wujud penghormatan dan komunikasi yang lembut, sehingga dapat menjaga harmoni antara dunia kasat dan tak kasat mata. Penaruhan sesaji ini biasanya dilakukan oleh sesepuh desa.

Berbagai acara kesenian dan kebudayaan khas Jawa juga mewarnai tradisi Rasulan. Pada malam hari, terdengar alunan suara gamelan dimana seorang Dalang mulai bercerita tentang dunia dewa-dewi dan ksatria dalam pertunjukan wayang kulit yang sudah dimulai. keesokan harinya, sebuah gunungan berisi ragam hasil bumi tampak menjulang dan diarak ke segala penjuru desa sebagai simbol syukur dan harapan. Lalu, bergeser ke dekat balai desa, terdapat pertunjukan seni seperti Jathilan, Reog, dan Kethoprak dikerubungi oleh masyarakat, menampilkan wajah seni kerakyatan dari yang penuh mistisme, gagah berani, hingga narasi humor sarat pesan moral yang mencerminkan jiwa masyarakat Jawa.

Rasulan di tengah perubahan zaman

Tradisi Rasulan tetap bertahan di tengah era modernisasi karena seluruh lapisan masyarakat berusaha menjaga tradisi ini agar tetap hidup dan menjadi bagian dari diri mereka. Perayaan ini tentunya melibatkan seluruh warga desa, dari anak-anak, pemuda-pemudi, hingga sesepuh. Cara mereka bergotong royong dalam persiapan dan pelaksanaan tradisi Rasulan berhasil menciptakan ruang kebersamaan sekaligus ajang melestarikan budaya.

Selain menjadi ritual yang diadakan setiap tahun, Rasulan juga menjadi cerminan nilai-nilai masyarakat Gunungkidul sebagai masyarakat agraris yang tetap bertahan di tengah perubahan zaman. Banyaknya tantangan yang dapat mengancam keberlangsungan tradisi Rasulan perlu menjadi perhatian penting. Dukungan dari semua pihak, baik dari generasi muda maupun pemerintah, sangat dibutuhkan untuk tetap menjaga warisan leluhur ini.

Jejak tradisi yang tak padam

Tradisi Rasulan bukan hanya tentang panen dan hasil bumi, tetapi juga mengajarkan kita tentang rasa syukur, kebersamaan, dan budaya. Dengan menjaganya, maka kita menjaga hubungan dengan alam dan sesama dapat tetap hidup, serta membawa harapan untuk masa depan yang masih sarat akan nilai-nilai budaya. Bersama kita jaga tradisi Rasulan tetap hidup, sehingga ia tidak akan menjadi kisah yang hilang dari ingatan dan kehidupan.

Leave a Comment

Our Location

Jalan Suryopranoto Nomor 11 F RT. 008 RW. 008, Petojo Selatan, Gambir, Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10160

Stores

© 2025 Basicnest. All rights reserved