HAROA, TERBENTANG DOA ABADI

Tradisi sebagai salah satu bagian dari kebudayaan merupakan identitas suatu masyarakat. Dalam tradisi itu tersimpan nilai-nilai yang diyakini dan menjadi falsafah hidup kelompok masyarakat tersebut. Nilai-nilai dan kebudayaan lokal inilah yang kemudian menjadi unsur pembangun identitas nasional. Di Pulau Muna dan Pulau Buton –  Sulawesi Tenggara terdapat sebuah tradisi unik yang disebut Haroa, sebuah tradisi kebudayaan yang rutin dilakukan oleh masyarakat Muna dan Buton menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat. Di kalangan masyarakat kedua suku ini, tradisi Haroa telah menjadi budaya yang diwariskan nenek moyang mereka. Mereka telah meneguhkan diri merawat tradisi leluhur dengan penuh suka cita bersama menjaganya hingga saat ini. Biasanya dilakukan pada saat penyambutan bulan Ramadhan, penyambutan Idul Fitri, Idul Adha atau ada sanak  keluarga yang meraih keberhasilan juga dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Juga sebagai media berdoa agar terhindar dari bala, dikabulkan permohonan dan diberikan keselamatan.

Haroa berasal dari bahasa Muna “haro” yang artinya ‘sapu’ atau ‘membersihkan’, dalam bahasa Wolio (bahasa yang digunakan oleh masyarakat Buton) yang memiliki arti “perayaan” atau “syukuran”. Yang mana melalui tradisi ini, bukan hanya bernilai religius mempersiapkan diri secara spiritual tetapi juga mencerminkan kearifan lokal dan mempererat tali persaudaraan semangat kebersamaan yang kental serta melestarikan warisan leluhur.

Tradisi Haroa Unik dan Penuh Kekeluargaan

Tradisi Haroa  layaknya acara makan bersama lewat “baca-baca” mewakili filosofi keutuhan tubuh manusia sebagai rasa syukur atas nikmat yang diberikan. Bagi masyarakat adat Muna, tradisi Haroa atau yang dikenal “baca-baca” telah diperkenalkan sejak lama yaitu saat Kerajaan Wuna dipimpin oleh Raja Muna yang bernama La Ode Abdul Rahman (Sangia Latugho). Sementara di masyarakat Buton, telah ada Haroa Qunut  yang juga dikenal sebagai “malona qunua” atau malam qunut yang dilaksanakan secara turun temurun sejak abad ke-16 saat masuknya Islam di wilayah Kesultanan Buton.

Pada era modern, tradisi Haroa tetap dilestarikan oleh masyarakat Pulau Muna dan Buton. Terbukti pula tidak hanya masyarakat Muna dan Buton menjalankan tradisi Haroa juga dijalankan masyarakat adat lain di jazirah Sulawesi Tenggara. Walaupun beberapa aspek tradisi telah mengalami penyesuaian, nilai-nilai intinya tetap terjaga. Bahkan upaya pemerintah setempat dan komunitas lokal juga terus mempromosikan sebagai bukti kearifan lokal masyarakat Pulau Muna dan Buton yang merupakan bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

Menjadi tradisi yang pasti selalu dikenang oleh masyarakat Muna dan Buton khususnya para perantau. Karena dengan tradisi ini, seluruh anggota keluarga dapat berkumpul dan bercengkerama. Moment saling bersilaturrahim bak memaafkan satu sama lain khususnya di lingkungan keluarga sendiri.Jadi Haroa bukan hanya untuk mempertahankan budaya turun temurun. Lebih dari itu, Haroa menjadi wahana bertemunya keluarga.

Berebut “Menculik” Modhi

Keberadaan tradisi Haroa ini tak sebatas hidangan semata. Saat semua duduk membentuk bundaran, melingkari sajian. Tak lengkap bila tidak dibaca-bacakan oleh tetua yang ditokohkan dalam agama. Dalam bahasa lokal, tetua ini dinamakan  Modhi atau Lebe (imam). Status Modhi atau Lebe, cukup sakral dalam kehidupan masyarakat. Saking sakralnya menyandang status ini, pengangkatannya melalui rangkaian sidang tokoh masyarakat dan pemerintah. Sehingga tidak salah, dalam satu kampung jumlahnya hanya satu atau dua orang saja.

Bagi masyarakat yang ingin menggunakan jasanya, pasti akan kesulitan jika tak melakukan perjanjian sebelumnya agar bisa bertandang. Hanya janjian pun tidak cukup karena ketika musim HaroaModhi jarang berada di tempat. Lepas membaca  Haroa di rumah satunya, setengah jam kemudian sudah bertandang di rumah lainnya.

Bila tak teraturnya jadwal, tak jarang banyak masyarakat  yang menunggui di tempat terakhir Modhi bertandang. Kadangkala menegangkan sebab sesama warga siap berebut “menculik” Modhi. Bahkan harus bersabar menunggu hingga tengah malam bagi yang sudah tak sanggup.

Aneka Makanan Tradisional dalam Dulang Haroa

Sebagian besar dari makanan yang disajikan terbuat dari bahan dasar yang sederhana seperti tepung beras, santan, dan gula merah. Walau begitu rasa yang dihasilkan tidak kalah lezat dibandingkan dengan kue-kue modern, menjadikan makanan haroa tetap lestari dan dinikmati oleh masyarakat hingga kini. Juga lebih mengenal nilai-nilai baik yang terkandung dalam tradisi haroa beserta makanan-makanan tradisional yang merupakan kekayaan budaya bangsa.

Sajian tersebut  terdiri dari lauk pauk seperti lapa-lapa, ayam parende, makanan berupa sepiring nasi ketan minyak tertutup telur yang berada ditengah talang, pisang raja (jenis pisang yang sangat digemari masyarakat Sulawesi Tenggara), telur rebus dan beberapa panganan tradisional berupa onde-onde (orang Jawa menyebutnya Klepon), wajik (waje), srikaya, ubi goreng (ngkaowi-owi), cucur (susuru masyarakat Muna menyebutnya bagi masyarakat Buton menyebutnya cucuru) , kue beras (baruasa), pisang goreng (sanggara masyarakat Muna menyebutnya bagi masyarakat Buton menyebutnya  loka yi hole), kue pasta (epu-epu), dan bolu serta manu kaowei masyarakat Muna menyebutnya namun bagi masyarakat Buton menyebutnya manu nasu wolio (ayam masak khas wolio). Sajian tersebut kemudian akan diletakkan di wadah bernama Tala (talang berkaki) dengan penutup yang masyarakat lokal menyebutnya dengan Katu Bangko.(tudung saji).

Ciri khas dari tradisi ini adalah penataan aneka makanan tradisional yang disusun rapi dalam sebuah talang (wadah besar) yang penataannya dalam talang tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan harus mengikuti aturan khusus agar tampak indah dan teratur. Hal ini mencerminkan nilai-nilai estetika dan kerapian yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Muna dan Buton dalam kehidupan sehari-hari, di mana segala sesuatu yang tidak rapi dianggap kurang sedap dipandang.

Bila sudah tertata rapi dalam nampan lalu ditutupi tudung saji berlapis kain.Yang  mana masing-masing dari makanan tersebut sudah memiliki makna dan nilai filosofi tersendiri dalam tradisi masyarakat.

Menariknya, sajian ini akan berbeda yang meliputi tata letak/piranti saji maupun perbedaan jumlah kuliner yang didasarkan pada status sosial. Begitu pula ada perbedaan jumlah setiap makanan yang akan disajikan, yaitu satu piring untuk satu jenis makanan dan berjumlah ganjil jika Haroa tersebut untuk bulan baik, sedangkan untuk Haroa orang yang telah meninggal jumlah sajian akan berjumlah genap.

Lima Sajian Kue Khas dalam Tradisi Haroa, Simbol Kebersamaan

Dalam tradisi Haroa ada beberapa jenis kue tradisional yang wajib dihidangkan berdampingan dengan menu lauk pauk dalam dulang, diantaranya : Cucur (merupakan sajian kue yang terbuat dari bahan dasar seperti tepung beras ketan yang dipadukan dengan gula merah serta santan, dahulu cucur hanya dibuat saat ada acara penting atau perayaan seperti haroa namun kini makanan gurih dan renyah ini sudah banyak ditemukan di pasar tradisional yang ada di Bumi Anoa), Waje (salah satu pangan tradisional yang bahan utamanya berasal dari beras ketan putih dan gula merah), Ngkea-ngkea (terbuat dari pisang yang dihancurkan lalu dicampurkan dengan gula merah dan tepung terigu dimana adonan tersebut dicampur secara merata kemudian digoreng), Srikaya (kue tradisional yang hanya dibuat saat akan diadakan haroa saja berbahan utama sederhana hanya terdiri dari campuran telur dan gula merah, memiliki tekstur yang lembek dan basah sepintas mirip dengan puding, dengan rasa yang sangat manis. Warnanya kecokelatanan, biasanya dicetak dan disajikan dalam cangkir teh), Sanggara (dalam bahasa Indonesia artinya pisang goreng. Berbeda dengan pisang goreng pada umumnya yang dibalut dengan tepung terigu, Sanggara dalam acara Haroa digoreng tanpa menggunakan tepung, sehingga menghasilkan cita rasa alami pisang yang lebih dominan).

Haroa bukan sekadar tradisi adat, namun juga simbol budaya yang mencerminkan keindahan, kerapian, dan kebersamaan masyarakat Muna dan Buton dalam merayakan momen penting dalam kehidupan mereka.

Leave a Comment

Our Location

Jalan Suryopranoto Nomor 11 F RT. 008 RW. 008, Petojo Selatan, Gambir, Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10160

Stores

© 2025 Basicnest. All rights reserved