“Hahhh! Huhhh!” begitulah seruan para petani di Bali tatkala menyambar burung-burung yang melayang rendah dan berniat menyantap biji padi mereka. Sawah yang rentan menjadi sasaran empuk bagi hewan-hewan liar disebabkan oleh keberadaannya yang terbuka dan menyatu langsung dengan ekosistem alam, terutama saat tanaman pertanian menghuni fase generatif, sebagaimana pembentukan bulir hingga masa panen.
Namun, dilihat-lihat, cara ini tidak sebegitu efektif, terlebih-lebih sewaktu datangnya malam, di mana segala aktivitas sawah membisu dan hari menggelap. Juga demikian, biarpun matahari kembali menyapa, tetapi apabila para petani sedang tidak dalam keadaan bugar, maka nasib hasil bumi mereka pun tak jauh berbeda. Sebagai alternatif pengusiran lainnya, Bali, yang dikenal akan inovasi dan kreativitasnya, mengembangkan berbagai cara untuk menghalau burung-burung tersebut.
Karenanya, tak perlu tercengang-cengang lagi jika sedang melancong ke Bali, dan berjumpa dengan sawah yang membentang luas, kemudian melihat sejumlah boneka yang memikat mata, tertancap kokoh dengan rupa tak biasa. Itulah orang-orangan sawah, yang kerap disebut-sebut “Lelakut”, merupakan sarana tradisional petani masyarakat Bali, sebagai salah satu strategi andalan untuk menakut-nakuti baik burung-burung ataupun hama yang mengancam sawah. Yang membuatnya lebih istimewa lagi, lelakut merupakan bagian dari kekayaan warisan budaya Bali yang amat sangat berharga.
Pembuatannya melibatkan pendekatan cerdik dan kreatif, yang nampak dari cara pembuatannya, dimulai dari merangkai kerangka dasar berbahan jerami atau pelepah kelapa kering, yang kemudian dianyam dan dipoles sedemikian rupa, hingga berbentuk manusia atau orang-orangan, lalu dikenakan pakaian bekas tergantung kreativitas petaninya. Barangkali sebagian besar orang akan menganggap bahwa lelakut dapat berperan sentral sebagai penggertak karena bentuknya yang sengaja dibuat menyerupai manusia, oleh karena itulah sebabnya mereka disebut “orang-orangan sawah” atau “hantu sawah”. Ternyata, menurut kepercayaan masyarakat Bali, lelakut juga diyakini dapat menolak bala serta mengusir hal-hal mistis atau ajaran ilmu hitam yang boleh jadi berasal dari orang lain yang iri dengan si pemilik sawah. Akan tetapi, kesaktian tersebut tidak serta-merta muncul tanpa tedeng aling-aling, sebab ada prosesi-prosesi di baliknya. Proses tersebut meliputi upacara, ritual, pemberian mantra dan sesaji khusus pada lelakut, serta tindakan lain-lain yang mengacu pada keyakinan tradisi setempat sehingga disebutlah lelakut itu bertuah (mempunyai tuah; sakti; keramat;). Sementara itu, lelakut bertuah kini sangat jarang dijumpai, karena tata caranya yang rumit dan terkikis oleh arus perkembangan zaman.
Maka selanjutnya, tak menutup kemungkinan jika lelakut biasa yang berfungsi sebagai pengusir burung dan hama kini mulai menghilang, apalagi di masa mendatang. Aktivitas di sawah pun tidak lagi sesibuk dahulu, dampak dari tergerus oleh zaman, alih fungsi lahan, dan berkurangnya minat generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian, menyebabkan warisan-warisan budaya agraris seperti lelakut kian terpinggirkan. Manalagi, petani kini lebih banyak menggunakan alat atau metode modern untuk mengusir hama, seperti jaring, alat suara otomatis, atau bahkan pestisida. Hal ini tidak sepenuhnya buruk, tapi modernisasi tidak semestinya memusnahkan budaya, sebab harusnya makin membukakan ruang untuk berinovasi di atas pondasi tradisi. Jika teknologi dan kearifan lokal bisa berjalan berdampingan, maka lelakut tidak semata-mata akan bertahan, tapi bisa lahir kembali dalam bentuk yang lebih relevan dan membanggakan.
Jadi, sudah sepatutnya kita menjaga kekayaan budaya kita, khususnya lelakut yang kian menyusut. Dalam rangka Untuk memastikan tradisi ini tetap hidup dan dikenal oleh generasi penerus, terutama anak-anak muda atau katakanlah kepada mereka si generasi Alpha yang tumbuh dalam era digital, kita perlu mengadopsi pendekatan yang lebih kreatif dan relevan dengan gaya hidup mereka saat ini. Salah satu cara yang cukup unik dan potensial adalah dengan menghadirkan lelakut dengan bentuk-bentuk yang fantastis, misalnya seperti skin Roblox atau karakter digital yang sedang populer di kalangan mereka, sehingga pastinya akan menimbulkan ketertarikan dan rasa penasaran untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang budaya lelakut. Melalui medium ini pula, lelakut tidak hanya menjadi warisan budaya yang diam di sawah, tapi akan terus dikenang, dihargai, dan bahkan diapresiasi secara luas di ranah digital.
Keterlibatan anak akan membuat lelakut dapat dihadirkan kembali dalam format yang relevan dan menarik, tanpa kehilangan nilai budaya yang dikandungnya. Seperti pepatah berkata, “Melentur buluh biarlah dari rebungnya,” artinya, untuk menjaga akar budaya tetap kuat, kita harus mulai dari generasi muda. Dengan begitu, warisan leluhur tidak hanya sekadar menjadi kenangan, tetapi terus hidup dan berkembang selamanya.