Bayangkan sebuah desa di pedalaman Kalimantan Barat. Gong berdentum memecah hening pagi, warga berdatangan dengan pakaian penuh warna dari berbagai penjuru desa dan berkumpul di rumah Betang, rumah adat khas Suku Dayak. Mereka berbondong-bondong membawa hasil bumi terbaik sebegai persembahan, mulai dari beras ketan yang harum hingga ayam kampung mereka yang gemuk. Anak-anak berlarian, sementara para tetua duduk khidmat memimpin doa. Di tengah hutan tropis yang lebat, masyarakat Dayak Kanayatn merayakan ritual sakral yang disebut Naik Dango.
Bagi masyarakat luar, Naik Dango mungkin hanya dikenal sebagai pesta adat, atau sekedar upacara syukaran panen. Bagi masyarakat Dayak Kanayatn, ritual ini adalah jauh lebih dari itu, Naik Dango adalah jembatan antara manusia dengan alam dan penghubung antara dunia yang sebenarnya dan yang lain. Lebih dari itu, ritual ini berfungsi sebagai cara melestarikan identitas budaya dan untuk menunjukkan nilai penting yang tidak diberikan sorotan yang seharusnya oleh media arus utama.
Naik Dango: Lebih dari Sekedar Pesta Panen
Pada bulan April, setelah masa panen padi juga diadakan festival Naik Dango. Secara leksikal, dalam bahasa Dayak Kanayatn, “dango” bermakna lumbung padi. Ritual ini dijalankan sebagai bentuk rasa syukur kepada Jubata (Tuhan) dan para leluhur, yang diyakini memberi berkat hasil bumi. Dalam satu kesatuan acara, seluruh masyarakat dibuat berjumpa, mempersembahkan tari-tarian tradisional, persembahyangan serentak, musik gong dan kendang, dan makan bersama yang dipimpin oleh panglima adat.
Padi menjadi pusat dari ritual ini. Terlepas dari fakta bahwa padi adalah sumber makanan, jantung hidup sehari-hari desa, itu adalah kehidupan itu sendiri, roh dari tempat dan penduduk itu sendiri. Setiap butir padi memiliki roh dan harus diberikan penghormatan. Dengan cara ini, dalam setiap tarian, sesaji, desa menghormati alam sebagai santuari kehidupan, yang memberikan segalanya. Dengan demikian, Naik Dango adalah ruang pertemuan, solidaritas, dan kebersamaan.
Jejak Mitos dalam Setiap Butir Padi
Ritual-ritual seperti ini tidak pernah lepas dari kosmologis dan mitos, menurut Masyarakat Dayak dalam cerita turun-temurun padi diyakini berasal dari pengorbanan dewi atau roh leluhur yang rela menjelma demi memberi kehidupan kepada manusia. Karena itu, padi dianggap suci. Dari proses penanaman, panen, hingga penyimpanan di lumbung, padi diiringi doa-doan dan ritual.
Dari sudut pandang tersebut, masyarakat melihat panen bukan hanya sebagai peristiwa ekonomi, tetapi sebagai peristiwa spiritual. Saat Naik Dango, masyarakat bersama roh-roh leluhur turut ikut datang dan merayakan dengan menikmati jamuan dan tarian. Inilah mengapa dimensi kosmologi, yang jarang dipahami orang luar, yaitu setidaknya ada dialog antara manusia dan alam serta dunia roh yang terjadi setiap kali panen telah selesai.
Tradisi Yang Bertahan Dalam Sunyi
Meskipun tradisi ini memiliki makna yang mendalam, Naik Dango jarang terekspos di layar kaca nasional. Media arus utama lebih sering menyorot festival modern, konser, atau acara seremonial besar. Padahal, Naik Dango menyimpan nilai budaya, spiritual, dan ekologis yang jauh lebih kaya.
Selanjutnya, sudah kronis bahwa modernisasi menyebabkan jumlah anak muda yang terlibat dalam ritual ini berkurang. Banyak dari mereka pergi keluar kota dan lebih familiar dengan budaya populer daripada ritual adat. Selain itu, perubahan fungsi lahan juga mengancam tradisi ini. Ketika lahan pertanian menyusut, keberlangsungan padi sebagai pusat ritual ikut terancam.
Namun, justru di sinilah letak kebanggaannya. Naik Dango bertahan tanpa perlu menjadi tontonan massal. Ia tetap hidup karena dilindungi oleh komunitas yang meyakini bahwa kebahagiaan sejati bukanlah soal keterpaparan, melainkan tentang kesetiaan pada nilai leluhur.
Refleksi: Kebanggaan di Luar Sorotan
Naik Dango mengajarkan pada kita bahwa cerita kekecewaan tidak selalu hadir di televisi atau viral di media social. Ia tinggal dalam ritual-ritual kecil, doa bersama, dan butir-butir padi di lumbung. Bahwa budaya tidak hanya untuk dipamerkan, tetapi juga untuk dijadikan sebagai jalan.
Bagi masyarakat Dayak Kanayatn, Naik Dango adalah layar hidup mereka yang mana layar itu tentu saja bermakna sungguh, tidak pada layar kaca. Dan mungkin, karena dunia semakin cepat berubah, kita seharusnya justru belajar dari tradisi seperti, bagaimana bersyukur, bagaimana hidup selaras dengan alam, dan bagaimana menjaga identitas tanpa harus selalu terlihat.