Suara gendang mulai terdengar, makin lama makin cepat, lalu disambut tepuk tangan dan sorak orang-orang. Di halaman Tongkonan, rumah adat Toraja, para penari muncul dengan senyum lebar. Mereka menari dengan riang gembira sambil tangan dan badan bergoyang dengan gemulai, meliuk-liuk lenggak lenggok. Mereka memakai pakaian adat berwarna cerah. Gerakannya luwes, sambil sesekali melirik penonton dengan tawa kecil. Saat duduk menyaksikan itu, saya sempat bertanya: apakah ini hanya tarian penyambutan? Atau ada makna lebih dalam di balik setiap gerakan mereka?
Bagi masyarakat Toraja, Pa’Gellu bukan sekadar tarian. Ia adalah doa yang diwujudkan lewat gerakan. Tarian ini biasanya tampil dalam upacara Rambu Tuka’, yaitu pesta syukuran. Gerakannya menjadi tanda penghormatan kepada leluhur dan ungkapan rasa bahagia. Kalau diibaratkan skincare, Pa’Gellu adalah “toner” yang menyegarkan suasana upacara. Semua yang hadir merasakan energi baru, seperti wajah yang kembali segar setelah cuci muka.
Hal yang paling saya suka dari Pa’Gellu adalah kebersamaan yang tercipta. Anak-anak berlari di sekitar penari, orang tua tersenyum bangga, tamu ikut terhibur. Semua larut dalam satu suasana: bahagia bersama. Inilah “moisturizer” bagi ikatan sosial. Di tengah kehidupan modern yang kadang bikin orang sibuk sendiri-sendiri, tarian ini mengingatkan bahwa kebahagiaan lebih indah jika dibagikan bersama.
Kalau kita pakai skincare, biasanya ada rangkaian dari pembersih, toner, serum, sampai pelembap. Pa’Gellu juga mirip begitu. Ada lapisan luar berupa senyum dan gerakan penari yang ceria. Lalu ada lapisan tengah: kebersamaan yang menghangatkan hati. Dan ada lapisan terdalam: spiritualitas, doa, dan rasa hormat kepada leluhur. Sama seperti produk Basicnest yang merawat kulit dengan baik, Pa’Gellu merawat jiwa masyarakat Toraja dari luar hingga dalam.
Sebagai seorang anak yang lahir dan besar di Toraja, saya merasa penting untuk merenung. Apakah generasi sekarang masih memahami makna mendalam Pa’Gellu, atau hanya menganggapnya sebagai tarian hiburan untuk turis? Yang harus kita jaga bukan hanya gerakannya, tapi juga filosofi di baliknya. Inilah “serum” yang akan menjaga budaya kita tetap sehat dan tidak cepat “menua”.
Melihat Pa’Gellu membuat saya sadar: kebahagiaan itu butuh dirawat. Sama seperti kulit kita perlu skincare, jiwa kita juga perlu ritual yang menutrisi. Indonesia punya banyak “Pa’Gellu” lain—tradisi, tarian, cerita—yang menunggu untuk dirawat. Jadi, mari jangan hanya fokus merawat diri, tapi juga merawat budaya yang memberi kita identitas. Karena pada akhirnya, keduanya sama-sama penting untuk membuat kita percaya diri: luar dan dalam.