Pelindung dari Tanah Jawa: Kearifan Adat yang Menjaga Raga dan Bumi

Sore itu di sebuah desa di Gunung Kidul, saya bertamu di rumah Mbah Pira, seorang wanita sepuh yang merawat saya saat masih bayi. Dengan tangan keriputnya, simbah menyapu dedaunan kering yang jatuh di halaman rumahnya. Beliau berkata, “Alam iku ora mung kanggo diduweni, tapi kanggo dijaga. Sing nglindungi awake dhewe ya sejatine saka kene, saka bumi iki.” Artinya “alam itu bukan hanya untuk dimiliki, tapu juga harus dijaga. Yang melindungi kita sejatinya dari sini, dari bumi ini.”

Ucapan sederhana itu membuat saya berpikir: di tengah modernisasi yang serba instan, masyarakat Jawa sebenarnya sudah lama mempraktikkan gaya hidup yang bukan saja bijaksana, tetapi juga bisa disebut sebagai bentuk inovasi pelindung , bagi tubuh maupun lingkungan.

Jejak Tradisi yang Menjaga Raga

Masyarakat Jawa, terutama di pedesaan, memiliki beragam cara merawat tubuh yang semuanya bersumber dari alam. Lulur dari beras dan rempah, jamu kunyit asam untuk menjaga stamina, hingga penggunaan daun sirih untuk kesehatan mulut. Semua itu diracik tanpa laboratorium modern, melainkan dari pengetahuan turun-temurun yang teruji oleh waktu.

Saya teringat percakapan dengan seorang penjual jamu di Pasar Prawirotaman. “Anak-anak muda sekarang lebih senang minuman botol dan sachet, padahal jamu sudah menjaga orang jawa dari dulu. Ini bukan cuma obat, tapi cara melindungi badan dengan berkah alam,” katanya sambil tersenyum, tangannya cekatan menuang cairan kuning kunyit asam ke dalam gelas plastik.

Kalimatnya terasa seperti pengingat bahwa jamu bukan sekadar minuman tradisional, tetapi simbol inovasi kesehatan alami. Tanpa bahan kimia, tanpa limbah berbahaya, dan sudah dipraktikkan jauh sebelum konsep herbal wellness mendunia.

Rumah, Lingkungan, dan “Pelindung” Sehari-hari

Bukan hanya tubuh, gaya hidup adat Jawa juga melahirkan inovasi dalam menjaga lingkungan. Cobalah masuk ke rumah-rumah joglo atau limasan di pedesaan. Dinding bambu dan anyaman gedhek membuat udara tetap sejuk meski tanpa pendingin ruangan. Genting tanah liat menahan panas terik, sementara halaman rumah selalu ditanami pohon peneduh.

Sistem ini sesungguhnya adalah bentuk arsitektur ekologis yang sangat berkelanjutan. Tidak ada beton berlebih, tidak ada pendingin listrik yang boros energi. Rumah tradisional Jawa melindungi penghuninya sekaligus menjaga keseimbangan dengan alam. Warisan adat itu bukan sekadar estetika, tapi pelindung nyata dari panas, gerah, dan polusi.

Kearifan dalam Mengelola Alam

Selain menjaga tubuh dan rumah, masyarakat Jawa juga punya cara khas dalam mengelola alam agar tetap lestari. Salah satunya melalui tradisi merti desa yaitu sebuah upacara syukuran hasil bumi sekaligus ajang menjaga kebersihan dan kesuburan tanah.

Dalam praktiknya, tradisi ini bukan hanya ritual spiritual. Ia berfungsi sebagai “kontrak sosial” antara manusia dan alam. Warga gotong royong membersihkan sungai, memperbaiki saluran air, menanam pohon, hingga berbagi hasil bumi. Semua dilakukan dengan keyakinan bahwa keseimbangan harus dipelihara bersama.

Jika ditilik dengan kacamata modern, merti desa sesungguhnya adalah model community-based sustainability, sebuah inovasi sosial yang berangkat dari nilai adat.

Inovasi Adat yang Relevan di Era Kini

Apa yang dilakukan masyarakat Jawa memang lahir dari kebutuhan sederhana: melindungi tubuh dan menjaga lingkungan. Namun di era krisis iklim, semua itu justru terasa sangat visioner.

  • Lulur dan jamu: bisa menjadi inspirasi bagi produk kesehatan alami tanpa limbah berbahaya.
  • Rumah bambu dan genting tanah liat: bukti arsitektur berkelanjutan yang hemat energi.
  • Tradisi merti desa: prototipe dari gerakan sosial menjaga lingkungan yang berakar dari budaya.

Semua ini adalah bentuk inovasi yang tidak kalah dengan gagasan modern. Bedanya, masyarakat Jawa merumuskannya dari kedekatan dengan alam, bukan dari laboratorium.

Menghidupkan Kembali yang “Tersamar”

Sebagai generasi muda Jawa, saya sering merasa kita sendiri justru abai. Kita lebih bangga menggunakan produk modern ketimbang menghargai kearifan yang sudah lama ada. Padahal, di balik kesederhanaannya, gaya hidup adat Jawa adalah pelindung sejati yang kita butuhkan saat ini.

Saya teringat kata-kata Mbah Pira di awal perjumpaan: “Sing nglindungi awake dhewe ya saka kene, saka bumi iki.” Kalimat itu terasa sederhana, namun mengandung makna mendalam, tubuh dan lingkungan kita sejatinya tidak membutuhkan perlindungan dari luar, karena alam sudah menyiapkannya sejak lama.

 

Pelindung sejati itu bukan selalu berupa teknologi canggih atau produk mahal. Ia bisa berwujud jamu yang diracik ibu-ibu pasar, anyaman bambu yang menyejukkan rumah, atau tradisi desa yang mengajarkan kebersamaan. Semua itu adalah inovasi gaya hidup adat Jawa yang menyatukan tubuh dan alam dalam harmoni. Kini, saat dunia berbicara tentang keberlanjutan, bukankah sudah saatnya kita kembali menoleh pada warisan leluhur? Karena dari tanah Jawa, kita bisa belajar bahwa pelindung paling kuat justru lahir dari kesederhanaan yang berpihak pada alam.

Melihat kembali apa yang diwariskan leluhur Jawa, kita belajar bahwa inovasi tidak selalu berarti menciptakan sesuatu yang benar-benar baru. Kadang, inovasi terbaik justru lahir dari keberanian menghidupkan kembali kebijaksanaan lama dengan wajah baru. Dari jamu yang kini menjadi gaya hidup sehat, hingga rumah bambu yang dikembangkan menjadi arsitektur ramah lingkungan, semuanya mengajarkan bahwa masa lalu bukanlah beban, melainkan sumber inspirasi.

Orang Jawa punya pepatah urip iku urup, artinya hidup itu seharusnya memberi cahaya. Pepatah itu kini terasa begitu relevan. Kearifan lokal tidak hanya menyala bagi masyarakat desa, tapi juga bagi dunia modern yang sedang mencari arah baru dalam menjaga bumi. Warisan yang terlihat sederhana itu sebenarnya sedang memberi cahaya, menawarkan solusi untuk kesehatan tubuh sekaligus keberlanjutan lingkungan.

Mungkin kamera televisi tidak pernah meliputinya, tetapi di setiap ramuan jamu, di setiap bilik bambu, dan di setiap doa merti desa, tersimpan cerita membanggakan Indonesia yang sesungguhnya. Jika dulu warisan itu hanya dianggap tradisi nenek moyang, kini ia adalah jawaban modern untuk tubuh yang sehat dan bumi yang lestari.

Leave a Comment

Our Location

Jalan Suryopranoto Nomor 11 F RT. 008 RW. 008, Petojo Selatan, Gambir, Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10160

Stores

© 2025 Basicnest. All rights reserved