Sasi Laut: Cerita Membanggakan di Balik Layar
Indonesia adalah negeri kepulauan yang dikenal dunia karena kekayaan lautnya. Namun, di balik keindahan biru Nusantara, tersimpan kisah lain yang jarang diangkat: tradisi lokal yang diam-diam menjaga laut tetap lestari. Salah satunya adalah sasi laut di Maluku. Sebuah kearifan sederhana yang justru memberi solusi besar bagi krisis laut Indonesia.
Sasi Laut: Warisan Leluhur yang Bertahan
Sasi laut merupakan aturan adat yang mengatur kapan masyarakat boleh mengambil hasil laut dan kapan harus berhenti. Biasanya, tanda berupa janur (daun kelapa muda yang dijalin) atau kayu dipasang di laut sebagai simbol larangan. Pada masa sasi, masyarakat dilarang menangkap ikan, mengambil teripang, atau mengumpulkan kerang di area tertentu. Saat masa larangan berakhir, barulah hasil laut bisa dimanfaatkan bersama.
Mekanisme sederhana ini bukan sekadar tradisi, tapi bentuk pengelolaan sumber daya alam yang penuh kebijaksanaan. Sasi menanamkan disiplin, menghormati alam, dan menempatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem, bukan penguasa tunggalnya.
Krisis Laut Indonesia: Ironi di Tengah Kekayaan
Di sisi lain, banyak wilayah laut di Indonesia menghadapi ancaman serius. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa pencemaran sampah plastik di laut Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Pantai-pantai yang dulu jernih kini dipenuhi botol plastik, kantong kresek, hingga jaring rusak.
Bayangkan, setiap tahun jutaan ton sampah plastik berakhir di lautan. Akibatnya, terumbu karang rusak, ikan-ikan mati, dan rantai makanan terganggu. Ironi yang menyakitkan bagi negeri maritim sebesar Indonesia.
Membandingkan: Sasi Laut vs. Laut yang Terabaikan
Jika dibandingkan, kondisi laut yang menerapkan sasi jauh lebih terjaga. Di beberapa desa adat di Maluku, penelitian menemukan populasi ikan dan biota laut meningkat signifikan setelah periode sasi diberlakukan. Air lautnya jernih, terumbu karang lebih sehat, dan hasil tangkapan nelayan pun lebih stabil.
Bandingkan dengan laut yang tanpa aturan. Di banyak tempat lain di Indonesia, nelayan terpaksa melaut lebih jauh karena biota laut di pesisir habis. Belum lagi tumpukan sampah yang merusak pemandangan sekaligus membunuh ekosistem. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kearifan lokal bisa lebih efektif dibanding kebijakan modern yang seringkali hanya berhenti di atas kertas.
Sasi Laut: Bekerja Diam-Diam di Balik Layar
Tradisi ini jarang terekspos di media besar. Padahal, justru di balik layar inilah sasi bekerja. Tidak ada sorotan kamera, tidak ada publikasi besar-besaran, hanya komitmen warga desa untuk taat pada aturan leluhur. Dari kesederhanaan inilah lahir kebanggaan: Maluku memberi contoh nyata bahwa menjaga laut bukan hal yang mustahil.
Sasi laut membuktikan bahwa solusi untuk krisis lingkungan tidak selalu harus datang dari teknologi canggih. Kearifan tradisional pun bisa jadi tameng melawan krisis global.
Pelajaran untuk Nusantara
Sasi laut memberi pesan penting: menjaga lingkungan tidak cukup dengan aturan hukum atau teknologi, tapi juga butuh kesadaran kolektif. Jika tradisi ini bisa diterapkan di lebih banyak wilayah pesisir Indonesia, maka krisis sampah laut dan overfishing mungkin bisa berkurang.
Kebanggaan terbesar justru muncul dari kenyataan bahwa warisan nenek moyang masih relevan hingga kini. Di balik layar modernitas, ada tradisi sederhana yang terus menjaga keberlanjutan hidup kita.
“di tengah kabar buruk tentang krisis laut, sasi di maluku membisikkan harapan: bahwa warisan nenek moyang masih bisa jadi kunci masa depan.”