Seni Kolektif Yang Sarat Akan Makna: Budaya Rambu’ Solo Suku Toraja Sebagai Cerminan Keberagaman Indonesia Dalam Memaknai Kematian

Saat Hidup Berbisik Tentang Akhir

Kematian. Sebuah kata yang setiap manusia pasti pernah dibayangi oleh kata-kata ini. Kata yang berputar pada kesedihan, perpisahan, dan akhir dari segalanya. Berbicara mengenai kematian, setiap individu memiliki pandangan tersendiri tentang kematian. Dalam skala lebih luas, ada kelompok masyarakat yang melihat kematian dari sudut pandang yang lebih luas. Tidak terbatas pada kesedihan semata.

Memandang kematian bukan hanya dari pandangan yang menggambarkan kematian bukan sebuah akhir, berhasil membawa sekelompok masyarakat pada pandangan bahwa kematian lebih daripada kesedihan. Ada sesuatu hal yang menjadi pesan dalam kematian. Secara umum, kebanyakan prosesi kematian dilakukan dengan cara mengubur mendiang seseorang di tanah. Dan mungkin ada beberapa serangkaian ritual agama yang dilakukan sebelum dilaksanakan proses penguburan.

Kematian & Budaya: Cermin Keragaman Jiwa Manusia

Jika dilihat lebih spesifik, ada kelompok masyarakat yang memandang kematian bukan hanya sebatas mengubur saja. Tapi ada sesuatu hal lebih yang terdapat dalam kematian. Pandangan-pandangan terhadap kematian melahirkan sebuah prosesi-prosesi yang unik jika dilihat dari pandangan umum. Bahkan ada kelompok masyarakat yang menganggap kematian bukan lagi menjadi sesuatu hal yang perlu ditangisi, tapi merupakan sesuatu hal yang perlu dirayakan.

Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya mengetahui secara ringkas penyebab munculnya berbagai pandangan atas kematian. Perbedaan masyarakat dalam pandangan atas kematian, ini tidak lepas dari budaya-budaya yang sangat bervariatif yang terdapat di berbagai kelompok masyarakat. Budaya dijelaskan oleh Koentjaraningrat dalam Munif (2018) merupakan seperangkat nilai-nilai rumit yang terkotak, sehingga memiliki citra istimewanya sendiri. Jadi bisa dikatakan bahwa pandangan kematian yang heterogen dalam masyarakat termasuk dalam budaya. Oleh karena itu prosesi-prosesi kematian yang tergolong unik dan tidak umum dalam masyarakat, merupakan suatu budaya yang memiliki ke istimewaannya tersendiri bagi masyarakat yang menganut budaya tersebut.

Berbicara lebih spesifik lagi, budaya-budaya tersebut bisa muncul dari berbagai macam faktor. Tapi salah satu faktor utama pembentuk budaya adalah lingkungan alam atau geografis masyarakat berada. Salah satu contoh prosesi kematian unik yang menyita perhatian dunia adalah pemakaman langit yang ada di negara Tibet.

Laman Wonders of Tibet menjelaskan bahwa pemakaman langit tidak lepas dari praktik agama Buddha yang memercayai bahwa setelah kematian tubuh kita hanyalah wadah kosong. Sehingga memberikan tubuh kita untuk keberlangsungan kehidupan makhluk hidup lain merupakan kebajikan terakhir yang bisa dilakukan. Namun faktor paling menonjol pelaksanaan pemakaman langit adalah faktor geografis. Negara Tibet merupakan negara yang berada di wilayah pegunungan yang terletak di dataran tinggi. Sehingga suhu udara yang dingin dan kurangnya wilayah yang bisa dijadikan pemakaman, membuat masyarakat mencari alternatif pemakaman yang lain.

Ritme Jiwa Suku Toraja: Harmoni Antara Duka, Kebersamaan, dan Keabadian dalam Budaya Rambu’ Solo

Suku Toraja merupakan salah satu suku yang tersebar di Sulawesi Selatan dan memiliki masyarakat yang terkonsentrasi di wilayah Kabupaten Toraja Utara, Kabupaten Tana Toraja, dan Kabupaten Mamasa. Rahayu (2017) menjelaskan bahwa Toraja memiliki akar kata tau raja yang berarti keturunan raja. Masih dalam sumber yang sama, Toraja juga memiliki akar kita to riajang atau yang memiliki arti orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Jika dilihat dari wilayah geografis, Suku Toraja menempati wilayah dengan keadaan geografis pegunungan. Karena nilai kebangsawanan yang melekat dalam nama Toraja, maka tidak mengherankan bila terdapat banyak budaya-budaya yang ada dalam suku Toraja, mulai dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian memiliki tradisinya tersendiri.

Dalam Suku Toraja memaknai kematian, secara garis besar terdapat dua tradisi. Pertama mengenai tradisi sebelum pemakaman, dan kedua mengenai tradisi pemakaman. Ketika seorang dari suku Toraja meninggal, apalagi seorang tersebut adalah bangsawan. Maka keluarga orang tersebut akan melaksanakan tradisi rambu solo’. Anggraeni dan Putri (2020) menjelaskan bahwa Rambu solo’ merupakan salah satu tradisi dalam suku Toraja yang menjadi bentuk penghormatan terakhir kepada seseorang yang telah meninggal dan menghantarkannya ke alam jiwa sebagai tempat peristirahatan terakhir manusia yang telah meninggal. Jadi, ketika masyarakat Toraja melaksanakan rambu solo’ banyak rangkaian tradisi yang dilaksanakan, seperti melakukan pemujaan dengan nyanyi dan tari-tarian, pemotongan hewan. Semuanya dilaksanakan secara ramai-ramai oleh masyarakat.

Nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tersebut melekatkan masyarakat, sehingga terjalin kebersamaan dan harmonitas. Selain prosesi kematian. Tradisi lain adalah terkait pemakaman itu sendiri. Toraja juga terkenal akan pemakaman-pemakamannya yang unik. Pemakaman suku Toraja ada yang berada di tebing dan gua, seperti yang terdapat di pemakaman Lemo, Londa, dan berbagai macam tempat di daerah Toraja. Kemudian ada juga pemakaman yang menggunakan pohon sebagai tempat peristirahatan untuk orang yang telah meninggal, seperti yang terdapat di Suaya.

Tradisi-tradisi tersebut memiliki nilai budayanya tersendiri. Seperti pemakaman di tebing menggambarkan semakin tinggi kedudukan seseorang, maka posisi makam yang didapatkan bisa berada di bagian paling tinggi dari tebing tersebut. Juga tradisi rambu solo’ yang bukan hanya sekadar upacara untuk menghormati seseorang semata. Tapi ada nilai kebersamaan yang terjalin dalam masyarakat. Karena segala pelaksanaan dan prosesi-prosesi selama rambu solo’ berlangsung, dilaksanakan bersama-sama oleh masyarakat. Bahkan jika menyaksikan langsung, masyarakat dari berbagai agama dan suku, saling bekerja sama dan menghadiri upacara tersebut.

Mozaik dalam Kematian: 1.331 Suku, 1.331 Makna

Badan Pusat Statistik (2015) mengeluarkan riset yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 1.331 kategori suku. Dengan suku sebanyak ini, tentunya banyak budaya-budaya yang muncul. Mengingat masyarakat Indonesia terbagi menjadi banyak suku, maka semangat masyarakat Indonesia dalam merawat budaya merupakan hal yang luar biasa. Kebanyakan budaya tidak dirawat perseorangan, namun dirawat secara kolektif. Hal ini bisa dilihat dari berbagai macam budaya yang dilaksanakan oleh berbagai macam suku untuk merayakan atau memperingati suatu hal. Masyarakat mulai dari awal sebelum pelaksanaan, sudah saling berembuk dan bergotong royong melaksanakan budaya yang dirawiskan oleh nenek dan orangtuanya. Melihat hal ini, tentunya patut di banggakan karena masih banyak masyarakat Indonesia yang masih merawat budaya dan mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam budayanya.

Daftar Pustaka

Anggraeni, A. S., & Putri, G. A. (2020). Makna upacara adat pemakaman rambu solo’di Tana Toraja. Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya, 3(1), 72-81.

Badan Pusat Statistik. (2015). Mengulik Data Suku di Indonesia. Diakses pada laman bps.go.id (https://www.bps.go.id/id/news/2015/11/18/127/mengulik-data-suku-di-indonesia.html)

Munif, A. (2018). Potret masyarakat multikultural di Indonesia. Journal Multicultural of Islamic Education, 2(1).

Rahayu, W. (2017). Tongkonan: Mahakarya Arsitektur Tradisional Suku Toraja. Jakarta Timur: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Wonders of Tibet. (n.y). Tibetan Sky Burial and Other Funeral Practices. Diakses pada laman wonderoftibet.com (https://www.wondersoftibet.com/about-tibet/tibetan-sky-burial/)

Leave a Comment

Our Location

Jalan Suryopranoto Nomor 11 F RT. 008 RW. 008, Petojo Selatan, Gambir, Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10160

Stores

© 2025 Basicnest. All rights reserved