Sumber: balipuspanews.com
“Kaki-kaki buin selai lemeng galungane mangde mebuah ngeed, ngeed, ngeed.”
Mantra sederhana yang kerap dilantunkan masyarakat desa sembari menepuk-nepuk batang pohon dengan blakas (parang) dan menempelkan bubur sumsum di batangnya.
Tumpek Uduh atau yang sering dikenal dengan Tumpek Bubuh adalah hari raya atau tradisi masyarakat Bali yang diperingati setiap enam bulan hari sekali, tepatnya dua puluh lima hari sebelum Hari Raya Galungan. Jika Valentine kerap dimaknai sebagai hari kasih sayang antar sesama manusia, maka Tumpek Uduh dapat disebut sebagai hari kasih sayang kepada alam, khususnya tumbuh-tumbuhan. Hari raya Tumpek Uduh lebih dari sekadar tradisi, masyarakat desa percaya bahwa Tumpek Uduh menjadi refleksi dari kearifan lokal yang diwariskan leluhur dari turun-temurun, sekaligus implementasi nyata dari filosofi Tri Hita Karana yaitu keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta.
Pada hari Tumpek Uduh, nilai kasih sayang akan diwujudkan dalam bentuk penghormatan kepada tumbuhan. Pepohonan seperti pohon kelapa, mangga, jati, cokelat, karet dan lainnya dihaturkan canang (sesajen) sebagai wujud kasih sayang. Melalui penghormatan ini, masyarakat desa diingatkan bahwa manusia dan alam adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dan keduanya saling menghidupi dan menopang. Ketika alam rusak, maka keberlangsungan hidup manusia pun akan ikut terancam. Oleh sebab itu, Tumpek Uduh bukan sekadar hari raya keagamaan atau tradisi, melainkan sebuah ajakan untuk kembali merawat bumi, menjaga keseimbangan, dan menghormati warisan leluhur.
Perayaan Tumpek Uduh dapat dikatakan unik. Salah satu keunikannya terletak pada hadirnya bubur sumsum dalam upacara suci. Bubur yang terbuat dari tepung beras dan diberi warna hijau dari daun suji ini bukan hanya sekadar hidangan sederhana, melainkan lambang kesuburan. Bubur sumsum akan dipersembahkan bersama tipat (ketupat) dan banten (sesajen), sembari ngatag (memukul atau mengetok batang pohon) dan di iringi dengan doa. Upacara ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Dewa Sangkara, manifestasi Tuhan yang menguasai tumbuh-tumbuhan. Tujuannya yaitu agar setiap pohon dan tanaman tumbuh subur, berbuah lebat, dan menghadirkan berkah saat Hari Raya Galungan yaitu hari kemenangan dharma atas adharma, kebaikan atas kejahatan.
Di sisi lain, Tumpek Uduh tidak hanya berbicara tentang simbol kesuburan. Pada hari Tumpek Uduh, pohon-pohon diperlakukan seolah merayakan hari otonan (kelahirannya). Tak ada penebangan, tak ada ranting yang dipangkas; sebaliknya, masyarakat desa justru menanam pohon baru sebagai tanda kasih dan harapan bagi kehidupan.
Dari tradisi Tumpek Uduh inilah kita belajar mengenai arti syukur. Alam menyediakan pangan, sandang, dan papan, tumbuhan juga menghasilkan oksigen yang menjadi kebutuhan dasar bagi keberlangsungan ekosistem. Oleh karena itu, sudah semestinya kita menjaga, melestarikan, dan meneruskan warisan luhur Tumpek Uduh. Dengan demikian, tradisi ini tidak hanya bertahan sebagai ritual turun-temurun, tetapi juga hidup sebagai pedoman sikap manusia terhadap alam. Selama manusia menjaga alam dengan tulus, selama itu pula Tumpek Uduh akan tetap hidup, tidak pernah hilang ditelan zaman. Karena pada akhirnya, kasih sayang kepada bumi adalah kasih sayang kepada kehidupan itu sendiri.